top of page

SEJARAH MIGRASI PENDUDUK TALAUD: Mulai Zaman Prasejarah Hingga Abad Ke XX (30.000 BP – Tahun 2016)

  • Abnertindi
  • Oct 29, 2017
  • 19 min read

A. Geologi dan Asal Usul Nama Kabupaten Kepulauan Talaud

Cerita geologis wilayah Talaud sangat unik. Batuan Ulframatik Karakelang-Kabaruan merupakan batuan tertua dan menjadi alas batuan Talaud. Karakelang terdiri atas campuran batuan mafik, batuan malihan, batuan sedimen, pelagos, dan batuan klastika.

Khusus pulau karakelang formasi geologinya dapat diuraikan terdapat batuan komplek bancuh yang diperkirakan terbentuk sebelum 40 juta tahun lalu. Pada zaman Oligosen (26-38 juta tahun lalu) ada pengendapan batuan gunung api dan batuan sedimen di atas batuan ini. Kemudian pertengahan zaman Miosen (5,1 – 2,6 juta tahun lalu) karena proses tektonik, batuan ini terlipat dan tersesar bersama-sama kompleks bancuh dan terangkat naik.

Menjelang akhir zaman Miosen Tengah hingga zaman Pliosen (1,6-5 juta tahun lalu), daerah ini mengalami penurunan dan formasi awit diendapkan. Selama itupula terjadi kegiatan gunung api yang erupsinya membentuk lapisan tufa di dalam formasi awit serta tersingkapnya batuan gunung api Miangas di pulau Karatung dan Miangas.

Pada akhir masa Pliosen ada peristiwa tektonik di Talaud yang membuat pelipatan, penyesaran dan pengangkatan serta berhentinya kegiatan gunung api. Dan selama pengangkatan yang berlangsung berangsur-angsur sejak zaman Pleitosen kepulauan Talaud hadir dalam gugusan Nusantara.[1]

Kata ‘Talaud’ disebut-sebut diturunkan dari kata ‘malaude’ yang berarti ‘tak jauh dari laut’. Kata ini muncul secara tertulis pertama dalam catatan ekspedisi Loyasa 1537, yaitu kata ‘Talao’. Sebelumnya pada catatan Pigaffeta yang muncul adalah nama pulau-pulau di Talaud. begitupun pada catatan Ma Huan.

Dulu nama lain Talaud yang disebut-sebut adalah talloda, atau talauda. Karena kata terakhir ini maka serta merta dihubungkan Muhammad Yamin dengan kata uda dalam naskah sastra kakawain Mpu Prapanca Nagara Kertagama yang diterjemahkan awalnya oleh Pigeaud.

Ada juga nama julukan lain bagi Talaud, yaitu Porodisa. Kata ini sering dikaitkan dengan kata paraiso (Spanyol) yang berarti sorga. Namun pada catatan lain, nama itu merupakan bahasa sasahara, yaitu bahasa perlambangan khusus dipakai di laut serta untuk mengekspresi sastra orang Sangihe-Talaud-Sitaro.

Raymond Tingginehe punya uraian lain soal nama julukan itu. Menurutnya, porodisa bukan kata serapan asing tetapi kata asli Talaud semata, poro artinya “pancung atau potong” dan dissa artinya “hantam dan hancurkan”. Menurutnya, kata itu adalah kata komando saat perlawanan memerangi bajak laut Mindanao. Sedangkan pada bagian lain Tingginehe juga menyebut kata itu pernah dipakai oleh seorang raja di Kepulauan Talaud.[2]

B. Sejarah Migrasi Penduduk Talaud

1. Zaman Prasejarah

Nilai penting Talaud di kawasan Sangihe Talaud Sitaro (SaTaS), adalah pengungkapan hasil kajian Peter Bellwood tentang kebudayaan Talaud zaman prasejarah 6000 tahun lalu. Manusia pertama kawasan SaTaS dalam kajian Bellwood terbukti berada di Talaud 6000 tahun lalu. Hal tersebut berdasarkan penggalian bukti-bukti fisik gerabah dan berbagai perhiasan serta alat bantu lain di Liang Tuwo Manee, pulau Karakelang. Namun kajian arkeolog lain yang dilakukan oleh Daud Tanudirjo yang lebih mutakhir (1995) menancapkan patok waktu yang jauh lebih kebelakang dari kajian Bellwood, yaitu 30.000-21.000 tahun lalu.

Kelompok manusia awal itu dapat diduga merupakan gelombang awal manusia yang datang dari daratan Mindanao, Filipina. Karena demikianlah rute perjalanan manusia awal dari Cina bagian Selatan ke Indonesia. Selanjutnya menyebar ke Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia yang pernah diurai banyak ahli, di antaranya Bellwood, dan Jhon Suggs.

Talaud juga merupakan titik penting perkembangan logam Nusantara 1000-100 tahun sebelum Masehi. Tepatnya berlokasi di Liang Buidane, pulau Salibabu. Di tempat ini selain ditemukan bentuk-bentuk tembikar khas budaya Buidane, yang menjadi penanda kebudayaan Talaud selama satu millennium sebelum Masehi. Di tempat ini juga dibuat cetakan-cetakan logam di antaranya pembuatan kapak.[3]

  • Menelusuri jejak nenek moyang penduduk Talaud

Di dalam rangka menelusuri jejak-jejak manusia masa lalu dari Asia ke Pasifik ini, maka diadakan serangkaian penelitian terhadap situs-situs permukiman di kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Salah satu situs yang memiliki indikasi kuat sebagai permukiman masa lalu adalah situs gua Liang Buida di desa Pangeran Kecamatan Mangaran di Pulau Kabaruan. Dengan dasar asumsi yang kuat bahwa situs gua Liang Buida adalah merupakan situs permukiman masa lalu, maka pada tahun 2005 telah diadakan penelitian dengan melakukan penggalian arkeologis di gua Liang Buida.

Berdasarkan keyakinan akan cukup besarnya prospek gua Liang Buida sebagai gua hunian masa lalu, maka pada tahun 2006 diadakan penelitian lanjutan pada situs tersebut. Penelitian lanjutan 2006 berupa ekskavasi atau penggalian arkeologis, dengan berpedoman dan berpatokan pada hasil-hasil tahun sebelumnya.

Menurut para ahli wilayah Indonesia, terutama Indonesia Timur, memiliki potensi yang besar dalam penyimpanan data penting tentang sejarah kependudukan di Wilayah Australia dan Pasifik (Daud, 1995). Oleh sebab itu wilayah ini seringkali menjadi tujuan utama di dalam penelitian arkeologi tentang migrasi masa lalu. Di dalam penelitian tentang migrasi masa lalu, kajian permukiman dan mata-pencaharian hidup manusia adalah kajian utama.

Kajian pertama dilakukan pada tahun 2004, sedangkan kajian kedua dilakukan pada tahun 2005-2006. Adapun lokasi penelitian tahun 2004 tersebar di pulau Salibabu, Karakelang dan Kabaruan di Kepulauan Talaud serta di pulau Sangir Besar, maka pada tahun 2005 kajian dipusatkan di gua Liang Buida saja di pulau Kabaruan, Kepulauan Talaud.

Soegondho mengutip pendapat beberapa ahli di antaranya Bellwood, Daud, dan Veth, mengatakan bahwa wilayah Indonesia Timur, yaitu kepulauan Maluku Utara, Maluku, Irian, dan Kepulauan Sulawesi, sejak dahulu adalah merupakan wilayah yang strategis di kawasan Pasifik, karena merupakan jembatan penghubung antara kawasan Asia dengan kepulauan Pasifik. Pada masa lalu, wilayah ini menjadi bagian dari route perjalanan migrasi fauna dan manusia berserta kebudayaannya.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa fauna prasejarah pernah singgah di wilayah ini ditandai dengan adanya fosil-fosil binatang purba berupa geraham dan gading atau tanduk binatang mamalia yang ditemukan di Pintareng di Kabupaten Sangihe di Sulawesi Utara, dan geraham binatang mamalia di lembah Napu, Poso Sulawesi Tengah, serta fosil-fosil binatang purba lainnya di Cabenge, Sulawesi Selatan.

Adapun migrasi manusia melalui route ini ditandai dengan menyebarnya kebudayaan Austronesia di pulau-pulau sekitar pasifik. Sehubungan dengan hal itu menurut para pakar menjadi daerah kunci yang menjadi jawaban atas permasalahan daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai dengan Easter Island di kepulauan Pasifik di bagian Timur, serta Formosa Island di bagian utara, sebagaimana dikutip oleh Solheim, 1996; Shuttler, 1975, Bellwood, 2001 (dalam Sugondho, 2005).

Seiring dengan migrasi dan usaha kolonisasi manusia itu, maka persentuhan budaya lokal dengan pendatang terjadi, dan berkembang menjadi kebudayaan lokal setempat dan memiliki nilai-nilai luhur. Perkembangan itu ditandai dengan adanya sisa-sisa budaya material (material culture) dan budaya spiritual (spiritual culture). Sisa-sisa budaya yang ditemukan di wilayah ini antara lain berupa: serpih-serpih batu paleolitik dan beliung batu neolitik, yang ditemukan di gua-gua kepulauan Talaud, di bukit kerang Passo di Minahasa, dan di guaan di Bolaang Mangondow, serta di situs Oluhuta di Gorontalo; tempayan kubur dan bangunan-bangunan megalit yang ditemukan di Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara dan di Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah. [4]

  • Keberadaan Manusia di Kepulauan Talaud

Aktivitas manusia di kepulauan Talaud terjadi sekitar 30.000 sampai 21.000 tahun yang lalu, seperti yang ditemukan ukti-buktinya di gua Liang Sarru, di pulau Salibabu (Daud, 2001). Liang Sarru terdapat di desa Salibabu, Kecamatan Salibabu di Kepulauan Talaud. Gua ini merupakan gua payung (rock shelter), berukuran sedang dengan anjang 5 meter dan tinggi langit-langit 2.5 meter serta bagian yang menjorok kedalam 3 meter.

Ruangan di dalam gua cukup nyaman untuk berteduh dari hujan dan panas matahari dengan langit-langit berbentuk melengkung, lantai kering dan rata di dalam ruangan. Manusia yang hidup pada masa itu bermukim sementara di dalam gua dengan mata-pencaharian mereka mengumpulkan makanan untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari. Jenis makan yang dikonsumsi adalah jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup secara liar di sekitar tempat tinggal mereka, serta binatang tangkapan yang terdapat di laut.

Alat yang mereka gunakan masih sangat sederhana berupa serpihan-serpihan batu dari batuan rijang (chert) yang dikenal dengan sebutan alat batu serpih-bilah. Kemungkinan juga mereka menggunakan batuan-batuan untuk memecah atau menumbuk bahan-bahan makanan yang mereka konsumsi berupa batu landasan (anvil) atau batu pemukul (mortar).

Kehidupan manusia Talaud masa itu masih kehidupan sederhana, dengan cara hidup berpindah-pindah dan Cuma menggunakan gua-gua sebagai tempat persinggahan atau untuk menetap sementara. Baru pada masa berikutnya antara 21.000 hingga 9000 tahun yang lalu manusia Talaud sudah mengenal kehidupan menetap di gua-gua dengan jenis mata pencaharian dan perlengkapan yang hampir sama. Aktivitas manusia Talaud pada masa ini sudah lebih intensif dengan bertempat tinggal dan beraktivitas di gua-gua.

Kehidupan manusia di kepulauan Talaud terus berlanjut pada masa-masa kemudian. Aktivitas manusia yang terekan diduga terjadi pada masa sekitar 6000 tahun yang lalu. Bukti-bukti aktivitas manusia pada masa itu ditemukan di gua Liang Tuo Manee di desa Arangkaa kecamatan Gemeh di Kepulauan Talaud. Di desa Arangkaa ini ada sebuah gua yang cukup besar yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai gua Liang Tou Manee.

Gua ini termasuk ke dalam jenis gua payung, terletak sekitar 100 meter dari desa Arangkaa di ujung utara pulau Karakelang. Gua payung ini pernah digali oleh Peter Bellwood pada tahun 1974 dan oleh Daud Tanudirdjo pada tahun 1995. Sampai saat ini gua Liang Tou Manee merupakan gua yang terkenal di kepulauan Talaud.

Hasil ekskavasi di Liang Tuo Manee ini menunjukkan bahwa aktifitas penghunian gua tersebut mulai terjadi pada masa berburu dan mengumpul makanan atau masa sebelum dikenalnya gerabah (preceramic) sejak 4000 Sebelum Masehi, berlanjut ke masa bercocok tanam (neolithic) mulai 2000 Sebelum Masehi, dan masa dikenalnya alat-alat logam-awal (early metal) antara awal Masehi hingga 1000 Masehi. Diperkirakan manusia yang hidup di masa neolitik di gua itu sudah mengenal kehidupan bercocok tanam, terbukti dengan ditemukannya alat-alat beliung persegi pada ekskavasi di gua ini, disamping alat-alat batu serpih-bila dan gerabah.

Permukiman di kepulauan Talaud terjadi pula di awal Masehi. Penelitian arkeologi di beberapa situs telah memberikan gambaran bahwa masyarakat prasejarah yang mendukung budaya logam awal paleometalik (early metal) pada sekitar awal masehi pernah bermukim di kepulauan Talaud, seperti yang ditunjukkan oleh temua gerabah dari situs Liang Sarru yang memiliki kemiripan dengan gerabah dari daerah lain di Talaud yakni Liang Buiduane diperkirakan digunakan pada awal masehi, sebagaima dalam Bellwood, 1979:267).

Demikian pula gerabah-gerabah dari situs Liang Tou Manee seperti yang sudah diuraikan di atas, ada yang merupakan gerabah masa logam awal. Selain itu gerabah-gerabah dari liang Buida Kabaruan ada yang memiliki kesamaan tipe dengan gerabah tipe ‘Gilimanuk-Plawangan’ yang bertanggalan sekitar 1500 Sebelum Masehi hingga 400 Masehi. Walaupun belum diperoleh pertanggalan dari arang yang ditemukan, namun berdasarkan temuan-temuannya berdasarkan beliung batu persegi dan gerabah tipe Gilimanuk-Plawangan tersebut, diduga Liang Buida pernah menjadi permukiman pada sebelum dan sekitar awal Masehi.[5]

2. Zaman Sejarah

Kepulauan Sangihe dan Talaud terdiri dari gugusan pulau-pulau karang besar dan kecil. Pulau-pulau karang ini terdiri dari dataran tinggi berupa gunung atau bukit, dan sebagian lagi berupa dataran rendah. Walaupun berupa pulau-pulau karang, namun kondisi tanah di kepulauan Sangihe Talaud sangat subur. Banyak tanaman yang tumbuh liar atau dibudidayakan seperti cengkih, pala, kelapa, padi, talas, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain sebagainya. Selain tanahnya yang subur, daerah ini juga kaya akan hasil laut.

Hasil penelitian para pakar, sebagaimana dalam Soegondho (2006), menjelaskan bahwa manusia pertama yang mendiami Talaud berada di pulau kabaruan, tepatnya menetap di gua Liang Buida. Terkait keberadaan manusia pertama yang mendiami Talaud masih ada perbedaan pandangan karena penelitian lain yang dilakukan oleh Daud, 2001 misalnya, yang mengatakan Talaud sudah dihuni oleh manusia sejak 31.000 tahun yang lalu.

Adapun Liang Buida dapat dijelaskan sebagai berikut: Gua Liang Buida merupakan gua terletak di desa Pangeran, Kecamatan Mangaran di pulau Kabaruan, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Jarak gua dari pusat desa/kampung Pangeran sekitar 2.5 km, di pantai sebelah timur desa pangeran. Desa ini terletak di pulau Kabaruan, salah satu di antara 3 pulau besar di Kepulauan Talaud. Pulau Kabaruan terbagi menjadi 2 kecamatan yakni kecamatan Mangaran dan kecamatan Damao.

Kecamatan Mangaran terdiri dari delapan desa atau kampung yaitu Mangaran, Taduna, Pantuge, Kabaruan, Kordakel, Rarange, Bulude, dan Pangeran. Sebagian besar dari pulau ini merupakan dataran tinggi, terutama pada bagian pedalaman dan sebagian kecil merupakan dataran rendah. Kepulauan Talaud merupakan sekumpulan gugusan pulau-pulau karang yang terletak di ujung Utara dari wilayah Nusantara yang merupakan pulau-pulau di daerah perbatasan dengan Filipina.

Walaupun merupakan salah satu pulau karang, pulau Kabaruan merupakan pulau subur sehingga banyak tumbuhan produktif tumbuh di pulau ini seperti kelapa, pala, cengkih, kenari, palawija, padi ladang, talas dan sayuran. Talas dan Padi ladang adalah merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal turun temurun. Padi ladang di panen satu kali setahun dengan upacara syukuran ‘sawakka’.

Penduduk desa Pangeran selain sebagai pegawai, guru, atau nelayan mereka juga pergi berkebun sebagai mata pencaharian mereka. Keahlian dan mata pencaharian bercocok tanam merupakan tradisi yang mereka kenal dan kuasai sejak nenek moyang mereka tinggal di pulau ini. Menurut informasi orang tua-tua di daerah ini, tradisi bercocok tanam padi ladang dan talas yang telah dikenal secara turun temurun itu mulai digantikan oleh tanaman yang menjanjikan hasilnya seperti cengkih. Sedangkan tanaman pala, kenari dan kelapa merupakan tanaman andalan yang bertahan sejak dahulu kala hingga saat ini. Disamping itu, mata pencaharian sebagai nelayan merupakan pencaharian utama yang sudah dilakoni turun temurun sejak nenek moyang mereka.

Gua (Liang) Buida di desa Pangeran terletak pada koordinat 3o 45.194’ LU dan 126o 46.840’ BT dengan ketinggian sekitar 10-25 meter di atas permukaan laut (berdasarkan GPS dan akurasi 9.2 m). pada saat ini gua Buide berada 20-25 meter dari tepi laut. Lahan di muka gua sampai ke tepi laut berupa dataran batu karang tajam. Tepian pantai di muka gua berketinggian antara 5-10 meter di atas laut dengan tebing pantai yang terjal.

Batuan pada tepian pantai ini berupa batuan karang. Gua Buida merupakan gua tembus berukuran sedang yang terletak pada tebing batu karang dengan ketinggian 15 meter dengan kemiringan 90 derajat. Gua Buida memiliki dua mulut gua, sebuah menghadap ke laut sedangkan yang lain menghadap ke darat (pedalaman). Bagian gua yang mulutnya menghadap ke laut memiliki ruangan yang lebih luas dengan lebar mulut sekitar 10 meter, ketinggian langit-langit 5 meter dengan kedalaman 8 meter. Ukuran gua ini melebar pada bagian mulutnya dan menyempit pada bagian dalamnya.

Dari bekas-bekas yang tampak pada dinding gua menunjukkan bahwa gua ini pada masa lalu merupakan bagian dari lubang (lorong) pada batuan karang yang pernah dilalui air, mungkin terowongan air atau sungai bawah tanah. Ketika terjadi pengangkatan bumi pada kala plestosin, maka lubang (terowongan air) beserta daratan di muka gua yang tadinya dasar laut menjadi terangkat dan menjadi kulit bumi sehingga membentuk gua dan dataran berbatuan karang di mukanya.

Seiring dengan berjalannya waktu, gua ini kemudian menjadi tempat bermukimnya manusia sejak kala holosin atau masa prasejarah hingga masa sejarah, melalui kurun waktu yang cukup lama. Permukiman atau peradaban manusia di gua ini ditandai dengan adanya peninggalan-peninggalan kehidupan manusia masa lalu yaitu yang terdiri dari alat-alat batu, benda-benda tanah liat, alat-alat tulang, dan alat atau perhiasan kerang. Selain itu ditemukan pula adanya sisa-sisa makanan seperti yang ditunjukkan oleh banyaknya kulit-kulit kerang laut maupun siput darat serta tulang-tulang binatang.

Berdasarkan informasi masyarakat, dataran pantai atau garis pantai di sepanjang desa Pangeran bahkan di sekitar pulau Kabaruan pada umumnya mengalami kemunduran sejauh rata-rata 30 meter selama 30 tahun atau setiap tahun garis pantai mundur sekitar 1 meter. Jadi kemungkinan pada masa lalu ketika gua (Liang) Buida di huni oleh masyarakat pertama kali, letaknya tidak seperti sekarang berada dekat dengan tepi laut, melainkan berada agak jauh dai tepi pantai.

Kemungkinan berada di pedalaman berjarak sekitar 1-3 km dari garis pantai. Kemunduran garis pantai ini berlangsung sedikit demi sedikit sepanjang masa mengingat pulau Kabaruan berada di antara Samudera Pasifik dan laut Sulawesi, jauh dari pulau-pulau besar melindunginya.[6]

3. Sisa-sisa Budaya Zaman Prasejarah dan Zaman Sejarah

Bukti-bukti permukiman manusia masa lalu di kepulauan Talaud, ditunjukkan oleh sisa-sisa budaya berupa situs:[7]

a. Benda-benda tanah liat yang dibakar (gerabah)

Adapun benda-benda tanah liat yang ditemukan di gua (Liang) Buida, Talaud terdiri dari wadah memasak dan menggoreng makanan, wadah untuk tempat makanan dan obat-obatan, cetakan bahan makanan dan alat keperluan sehari-hari. Dari hasil ekskavasi (penggalian) diperoleh data tentang adanya benda-benda tanah liat berhias maupun tidak, serta adanya benda tanah liat untuk alat menangkap ikan.

  • Alat-alat batu

Alat-alat batu terdiri dari benda-benda untuk memecahkan buah kenari atau kerang dan alat-alat batu serpih bilah serta alat batu beliung persegi.

  • Fragmen tulang dan kulit kerang

Terdapat juga alat-alat yang terbuat dari kulit kerang atau tulang. Kebanyakan alat-alat yang ditemukan semacam alat penusuk atau jarum da nada pula berupa perhiasan. Kebanyakan fragmen tulang dan kulit kerang diduga merupakan sisa-sisa makanan manusia yang bermukim di gua pada masa yang lalu.

  • Sisa arang

Arang (charcoal) banyak ditemukan di kotak-kotak penggalian di gua Buida. Penelitian arkeologi tahun 2005 dan 2006 menemukan sisa-sisa arang dari berbagai lapisan tanah, yang diperkirakan berasal dari lapisan kayu atau bamboo yang secara sengaja dibakar untuk keperluan hidup sehari-hari.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi beberapa fase kehidupan manusia di Talaud, baik waktu, ruang maupun budaya. Dimulai dari fase yang paling awal yaitu bertanggalan 30.000 hingga 21.000 tahun yang lalu, hingga fase yang paling muda yang berlangsung sekitar 1000 Masehi (masa awal sejarah) hingga sekitar awal abad XIX, yakni sebagai berikut:[8]

Fase Awal. Pada fase yang paling awal (pertama), yang bertanggalan antara 30.000-21.000 tahun yang lalu, manusia di Talaud masih bermukim secara temporer di gua atau gua payung, dan mengenal kebudayaan Paleolitik. Aktifitas permukiman pada fase ini masih kurang intensif, hanya kadang-kadang bermukim atau dating melakukan aktivitas kehidupan di suatu gua. Oleh karenanya peninggalan mereka berupa serpih-bilah batu, terutama sekali sisa-sisa makanan mereka yang berupa kulit kerang hanya sedikit. Bukti permukiman pada fase ini ditemukan di gua Liang Sarru di pulau Salibabu.

Fase kedua, yang bertanggalan antara 21.000-9000 tahun yang lalu. Manusia suda bermukim di gua-gua secara tetap, sehingga kegiatan permukiman mereka sudah intensif dengan meninggalkan sisa-sisa makanan cukup banyak. Walaupun demikian, kebudayaan yang mereka kenal masih tetap sebagai budaya paleolitik dengan ciri-ciri alatnya berupa serpih-bilah batu. Bukti permukiman pada fase ini juga ditemukan di Liang Sarru.

Fase ketiga, kemudian pada masa berikut (9000-6000 BC), kegiatan permukiman manusia di wilayah ini tidak dapat diungkapkan, karena belum ada data yang diperoleh pada dari masa tersebut. Kegiatan permukiman di daerah Talaud terekam kembali sejak 4000 sebelum masehi. Mereka masih mendiami gua terutama gua payung secara intensif, dengan peralatan alat-alat batu sederhana serpih-bilah dan belum mengenal gerabah.

Fase keempat, sejak 2000 Sebelum Masehi hingga awal masehi. Kehidupan sudah mulai berubah dengan mulai dikenalnya budaya bercocok tanam atau kebudayaan neolitik. Fase ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dengan menggunakan alat batu beliung persegi serta benda-benda gerabah.

Fase kelima, berlangsung sekitar awal Masehi hingga 1000 Masehi (masa awal sejarah di wilayah Talaud). Aktifitas permukiman pada fase ini cukup intensif di gua-gua, baik gua payung maupun bukan gua payung, dan di duga juga di situs-situs yang bukan berupa gua. Manusia pada masa ini sudah mengenal budaya Paleometalik atau penggunaan alat-alat logam awal, dan peninggalan-peninggalan mereka terutama berupa benda-benda tanah liat atau gerabah, walaupun kadang masih menggunakan alat-alat batu seperti beliung batu persegi. Aktifitas permukiman pada fase keempat dan kelima ini datanya diperoleh dari situs gua Liang Tou Manee, Liang Buida, Liang Buiduane, Liang Sarru, di Talaud.

Fase keenam, berlangsung sejak awal sejarah hingga sekitar abad XIX Masehi. Permukiman pada masa ini sangat intensif dan kebanyak terjadi di luar gua seperti di bukit Tuwo Manee dan dibukit Hantosa. Situs-situs tersebut merupakan kampung tua, di mana masyarakat bermukim di tempat itu sebelum mereka pindah ditempat masa kini. Masyarakat pada fase ini sudah mengenal budaya masa sejarah, dan meninggalkan bekas-bekas permukiman mereka berupa pecahan-pecahan gerabah serta sisa-sisa makanan berupa cangkang kerang dan tulang-tulang binatang.

Adapun pembagian fase-fase tersebut sebagaimana dalam tabel di bawah ini:

C. Kondisi Talaud di Abad XX

Kondisi Kabupaten Kepulauan Talaud di abad ke – 20 dalam rekaman para pakar sejarah dapat di lihat dari beberapa indikator, di antaranya kependudukan dan pemerintahan.

1. Kependudukan

Dalam buku Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro (Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan) yang ditulis oleh Salindeho dan Sombowadile (2008), memaparkan kondisi kependudukan Talaud dan kawasan Sangihe dari beberapa pakar, di antaranya Viersen dan Ulaen.[9]

Peneliti Viersen, dalam bukunya yang berjudul “keresidenan manado” (1903) memuat data kependudukan Talaud walaupun bersifat tentatif yang kemungkinan angka ini merupakan perkiraan Viersen semata. Dalam tulisannya itu, Viersen mengurai jumlah penduduk Sangihe-Talaud-Sitaro awal abad ke 20 (1903) adalah 114.000 bumi putra yang terbagi 90.000 jiwa di Sangihe dan 24.000 Jiwa di Talaud. Sedangkan golongan kulit putih, masing-masing 50 dan Cina 600 jiwa (lihat tabel 1.1).

Selanjutnya angka penduduk yang lebih sahih ditemui dalam buku misionaris Daniel Brilman Onze Zendingvelden: De Zending op de Sangi dan Talaud Einlanden (Ladang pekabaran Injil: Kabar Injil di Kepulauan Sangi dan Talaud). Buku yang ditulis 1938 mengutip jumlah data penduduk hasil sensus Hindia Belanda tahun 1930 (lihat tabel 1.2).

Sebagai pembanding diberikan data pertumbuhan penduduk pasca kemerdekaan Indonesia. Tabel 1.3 merincikan pertumbuhan penduduk pada beberapa tahun yang dikutip dari buku ‘Nusa Utara dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan’ karangan Alex Ulaen. Dari Tabel 1.3 terpapar pertumbuhan penduduk perdekade sejak tahun 1971 yang menunjukkan trend pertumbuhan yang sangat kecil.

Adapun jumlah penduduk Talaud berserta jumlah penduduk yang mendiami kawasan Sangihe tahun 1903 yang diperkirakan oleh Viersen, adalah sebagai berikut:

Bahkan dalam catatan Kaki Salindeho dan Sombowadile (2008), terkait perkiraan Viersen mengenai jumlah penduduk dikatakan bahwa data jumlah penduduk yang lebih awal untuk pulau-pulau tertentu bisa ditemukan, misalnya uraiannya untuk pulau Siau dalam Dokumen Jesuit sebagaimana diurai Hubert Jacobs di abad 17 antara 3 hingga 7 ribu, masing-masing pertumbuhannya tahun 1588, 2.400; tahun 1612, 3000; tahun 1631, 7.000; tahun 1645, 3.000 dan tahun masing-masing pertumbuhannya tahun 1588, 2.400; tahun 1612, 3.000; tahun 1631, 3.000; tahun 1631, 7.000, tahun 1645, 3.000 dan tahun 1676, 5.500 jiwa.[10]

Lalu bagaimana kondisi kependudukan saat ini. Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2014, jumlah penduduk sampai dengan tanggal 13 Oktober 2014 tercatat sebesar 104.033 (seratus empat ribu tiga puluh tiga) jiwa yang tersebar di 19 Kecamatan. Rincian jumlah penduduk per kecamatan, sebagaimana pada tabel 3 di bawah ini[11]:

Penduduk Kabupaten Talaud yang berjenis kelamin laki-laki per 13 Oktober 2014 tercatat sebesar 53.605 jiwa, sedangkan perempuan tercatat sebanyak 50.428 jiwa. Total keseluruhan sebanyak 104.033 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga sebanyak 28.049 KK.

2. Pemerintahan

  • Pemerintahan Dulu Kala

Pemerintahan local/tradisional di Talaud diduga muncul sejak abad ke 15 masehi. Bukti ini dibuktikan lewat catatan jurutulis Magelan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Sumber sejarah tiga abad sesudahnya, hasil tulisan F.Valentijn yang datang ke Sangihe awal abad ke-18, menyebut awalnya hanya dua saja kerajaan di Sangihe, yaitu Tabukan dan Kalongan. Menurutnya, nanti kira-kira 1670 muncul Sembilan kerajaan di Sangihe, yaitu: Kerajaan Kendahe, Kerajaan Taruna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kauhis, Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan, Kerajaan Sawang (Saban), dan Kerajaan Tamako.

Talaud sendiri berada di bawah kekuasaan kerajaan Tabukan. Kerajaan Tabukan disebut merupakan kerajaan tertua di abad ke-15 di Sangihe dan Talaud. Meski menurut sebuah kajian yang diterbitkan oleh Kyoto University, sebelum itu sudah muncul beberapa kedatuan, baik di bawah pimpinan datu dan pemimpin yang bergelar kulano. Sebelum disebut sebagai raja, pemimpin komunal mendapat gelar ‘datu’. Kedatuan merupakan awal dari sistem kepemimpinan komunal (proto pemerintahan).

Kerajaan Tabukan yang disebut merupakan bentuk kerajaan awal di kawasan Sangihe Talaud Siau (SaTaS), sering dikaitkan dengan kiprah kedua Tokoh, yaitu Gumansalangi dan Makaampo Wawengehe. Gumansalangi disebut sebagai tokoh yang mendirikan kedatuan Tampungan Lawo atau Tabukan antara tahun 1300-1350 yang wilayahnya meliputi Sangihe dan wilayah Filipina Selatan. Tokoh ini dikasahkan asalinya adalah pangeran dari seorang Sultan di Mindanao Selatan.

Datu Gumansalangi mempunyai dua anak, yakni Melintangnusa dan Melikunusa. Melintangnusa menggantikan ayahnya sebagai datu kedua (1350-1400). Dia banyak kali berkunjung ke Filipina Selatan dan bahkan meninggal di sana. Kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe hingga permulaan abad ke-20 tercatat mencakup wilayah pulau-pulau Talaud. Bahkan meluas sampai Mindanau Selatan. Adapun bagian Mindanau Selatan yang merujuk pada data Valentijn adalah Coelamang, Daboe (Davao), Ijong, Maleyo, Catil dan Leheyne.

Meski demikian, penting digaris bawahi pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kekinian. Kala itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan untuk membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang lain. Sedangkan kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar dalam tulisannya “Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin mawin di antara para elit pemimpin. [12]

  • Pemerintahan Modern

Sekian lama dalam kurun pemerintahan Kolonial Belanda, kepulauan Sangihe dan Talaud tergabung dalam satu administrasi pemerintahan, yaitu sejak perjanjian 1677 sampai bubarnya VOC akhir tahun 1799 kawasan ini berada di bawah kesultanan Ternate. Namun kekuasaan akhir efektif justu diselenggarakan oleh raja-raja lokal. Kemudian pada tahun 1825 kawasan SaTaS masuk dalam wilayah keresidenan Manado, meski masih dalam lingkungan gubermen Ternate. Setelah itu pada tahun 1859 keresidenan Manado dipisahkan dari administrasi gubernur Maluku.

Tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda menerapkan dua onderafdeeling di kawasan SaTaS, yaitu onderafdeeling Sangihe dan onderafdeeling Talaud. Keputusan itu merupakan permintaan para jogugu di Talaud. Dalam sistem kerajaan Tabukan, berdasarkan dokumen kerajaan Tabukan tahun 1927, jabatan setingkat di bawah raja adalah, jogugu. Permintaan tersebut disetujui oleh Residen Manado Oh.J.van Marle. Kemudian dikukuhkan besluit gubermen nomor 11, tanggal 13 April 1911. Sebagai tindak lanjutnya, ditempatkan seorang countroleur di Lirung. Sejak itulah wilayah Talaud sebagai wilayah raja-raja Sangihe terputus.

Empat tahun sesudahnya yaitu pada 18 Februari 1915, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan keputusan nomor 18 yang intinya menetapkan kepulauan Talaud menjadi kerajaan Talaud. Pada tanggal 31 Agustus 1921 Kerajaan talaud memiliki raja dengan diangkatnya J.S.Tamawiwij (sebelumnya Jogugu Karakelang Utara di Beo). Bahkan Raja Talaud masih diakui setelah kemerdekaan. Tahun 1945, misalnya, gubernur Sulawesi Lanto Daeng Pasewang saat datang ke Lirung masih diterima oleh Raja Binilang, Raja Talaud kala itu.[13]

Adapun kondisi pemerintahan Kabupaten Talaud saat ini, yakni Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki 19 Kecamatan, 143 desa dan 10 kelurahan. Nama masing-masing kecamatan, desa dan kelurahan sebagaimana di bawah ini:

1. Kecamatan Lirung

Ibu Kota: Rainis

Desa: Sereh, Musi, Talolang, Sereh I.

Kelurahan: Lirung, Lirung I, Lirung Matane.

2. Kecamatan Beo

Ibu Kota: Beo

Desa: Bantik, Bengel, Bantik Lama.

Kelurahan: Beo, Beo Timur, Beo Barat.

3. Kecamatan Rainis

Ibu Kota: Rainis

Desa: Alo, Nunu, Rainis, Bantane, Tabang, Parangen, Bantane Utara, Tabang Barat, Nunu Utara,

Rainis Batupenga, Alo Utara.

4. Kecamatan Essang

Ibu Kota: Essang

Desa: Essang, Lalue, Bulude, Maririk, Essang Selatan, Bulude Selatan, Lalue Tengah, Lalue Utara.

5. Kecamatan Nanusa

Ibu Kota: Karatung

Desa: Kakorotan, Marampit, Laluhe, Dampulis, Karatung, Karatung Tengah, Karatung Selatan, Marampit Timur.

6. Kecamatan Kabaruan

Ibu Kota: Kabaruan

Desa: Pangeran, Bulude, Pantuge, Kabaruan, Mangaran, Kordakel, Rarange, Taduna, Kabaruan Timur,

Pantuge Timur, Pannulan, Bulude Selatan.

7. Kecamatan Melonguane

Ibu Kota: Melonguane

Desa: Mala, Kiama, Tarun, Sawang, Ambela, Tarun Selatan, Kiama Barat, Maredaren Utara, Sawang Utara,

Mala Timur.

Kelurahan: Melonguane, Melonguane Timur, Melonguane Barat.

8. Kecamatan Gemeh

Ibu Kota: Gemeh

Desa: Mamahan, Bambung, Taturan, Gemeh, Arangkaa, Malat, Apan, Taruan, Bannada, Gemeh Raamata,

Gemeh Wantane, Bambung Timur, Malat Utara, Mamahan Barat, Lahu.

9. Kecamatan Damau

Ibu Kota: Damau

Desa: Peret, Ighik, Birang, Akas, Damau, Damau Bowone, Taduwale, Akas Balane.

10. Kecamatan Tampanamma

Ibu Kota: Dapalan

Desa: Tuabatu, Dapalan, Riung, Ammat, Binalang, Ganalo, Dapihe, Tuabatu Barat, Ammat Selatan, Binalang

Timur, Riung Utara.

11. Kecamatan Salibabu

Ibu Kota: Salibabu

Desa: Bitunuris, Bitunuris Selatan, Salibabu, Salibabu Utara, Dalum, Balang.

12. Kecamatan Kalongan

Ibu Kota: Kalongan

Desa: Kalongan, Kalongan Utara, Kalongan Selatan, Alude, Musi I.

13. Kecamatan Miangas

Ibu Kota: Miangas

Desa: Miangas

14. Kecamatan Beo Utara

Ibu Kota: Lobbo

Desa: Makatara, Makatara Timur, Awit, Awit Selatan, Rae, Rae Selatan, Lobbo I.

Kelurahan: Lobbo

15. Kecamatan Pulutan

Ibu Kota: Pulutan

Desa: Pulutan, Pulutan Utara, Pulutan Selatan, Daran, Daran Utara.

16. Kecamatan Melonguane Timur

Ibu Kota: Bowombaru

Desa: Tule, Tule Tengah, Tule Utara, Bowombaru, Bowombaru Tengah, Bowombaru Utara.

17. Kecamatan Moronge

Ibu Kota: Moronge

Desa: Moronge, Moronge I, Moronge II, Moronge Selatan, Moronge Selatan I, Moronge Selatan II.

18. Kecamatan Beo Selatan

Ibu Kota: Tarohan

Desa: Pampalu, Rusoh, Niampak, Niampak Utara, Tarohan, Tarohan I, Matahit.

19. Kecamatan Essang Selatan

Ibu Kota: Sambuara

Desa: Sambuara I, Sambuara, Ensem, Ensem Timur, Batumbalango, Ambia, Ambia Utara, Kuma, Kuma Selatan

(Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2014).

Sembilan belas wilayah pemerintahan kecamatan yang ada di Kabupaten Kepulauan Talaud masing-masing memiliki keunikan dan potensi, yang mana jika dikelola secara maksimal akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat yang menetap didalamnya.

Hadirnya pemerintahan di sembilan belas wilayah kecamatan memiliki tujuan utama yaitu mengupayakan tertib hidup dan kesejahteraan warganya. Pemerintah wajib menjadi pendorong sekaligus bisa menjadi problem solving bagi sumbatan-sumbatan ekonomi masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Talaud hendaknya menjadi pelopor atas kemajuan suatu wilayah kecamatan kaitannya dengan peningkatan potensi perikanan laut, karena semua kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki garis pantai di mana sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai nelayan.

Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki 17 (tujuh belas) buah pulau baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Dari gugusan pulau-pulau yang ada di Kabupaten Kepulauan Talaud, berikut ini disajikan nama dan luas pulau[14] yaitu:

Berdasarkan letak geografis, Kabupaten Kepulauan Talaud terletak antara 05o 33’00 – 03o 38’00 Lintang Utara/North Latitude dan 126o 38’00 – 127o 10’00 Bujur Timur/East Longitude, yang mana sebelah Utara berbatasan dengan Republik Filipina bagian Selatan (P. Mindano), sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.[15]

Gambar 1.7 Perbatasan Indonesia dengan 10 Negara dan Posisi Geopolitik Kabupaten Kepulauan Talaud

Pada gambar 2 di atas posisi Kabupaten Kepulauan Talaud berada dalam lingkaran merah, yang berbatasan langsung dengan Negara Filipina. Letak geografis ini sangat menguntungkan Kabupaten Kepulauan Talaud karena selain memiliki potensi perikanan yang besar, juga dapat memainkan peran sebagai pemasok hasil perikanan kepada negara tetangga Filipina maupun negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik.

D. Peta Migrasi Manusia yang Menghuni Kepulauan Talaud

Migrasi penduduk selalu menarik untuk dibicarakan. Secara khusus migrasi penduduk Talaud yang diyakini berasal dari Cina Selatan yang masuk melalui daerah Filipina Bagian Selatan. Percampuran generasi akibat masuknya Potugis dan spanyol serta lamanya Hindia Belanda menguasai Indonesia menjadikan penduduk Talaud memiliki ras yang berbeda-beda. Namun demikian ras masyarakat Talaud dominasi oleh ras Austronesia, yang merupakan nenek moyang penduduk Talaud.

Di bawah ini peta migrasi manusia Talaud, zaman prasejarah, sejarah, dan abad kedua puluh, yang saya olah dari berbagai sumber, yakni sebagai berikut:

Itulah sejarah manusia Talaud dari awal hingga saat ini, semoga menjadi kajian kita bersama, betapa pentingnya sejarah yang harus dimiliki oleh setiap generasi Talaud.

Silahkan menghubungi saya di Contact jika ada yang ingin didiskusikan!

Referensi:

[1] Salindeho, Winsulangi & Sombowadile, Pitres (2008:105).

[2] Ibid, hal.32

[3] Ibid, hal. 32-35

[4] Soegondho (2006: 2, 3).

[5] Ibid, hal. 34-36

[6] Ibid, hal. 30-32

[7] Ibid, hal.33

[8] Ibid, hal. 39,40

[9] Salindeho dan Sombowadile, (2008: 22-23)

[10] Ibid, hal.18

[11] Data Bidang Kependudukan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2014.

[12] Salindeho dan Sombowadile, (2008:19-24)

[13] Ibid, hal. 24, 28, 29.

[14] Kepulauan Talaud Dalam Angka / In Figures 2015, hal. 10

[15]http://talaudkab.bps.go.id, 2013.

Comments


RECENT POSTS:

Space for Rent ...

Berikan komentar anda mengenai artikel di atas!

© Wanuau

  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page