top of page

Mengeksplorasi Pulau Karatung: Menilik Tarian Ware

  • Abnertindi
  • Oct 31, 2017
  • 6 min read

Pulau Ginimbale, dikenal dengan budaya tariannya yaitu ‘ware’. Ware sejenis tarian tradisional masyarakat pulau Karatung, di mana alat musik yang dipakai untuk mengiringi tarian ini dinamakan ‘tambore’ atau tambor. Alat musik ini terbuat dari kayu berbentuk tabung, dan ujung kiri kanannya ditutup dengan kulit kambing.

Biasanya, masyarakat pulau Karatung melaksanakan kegiatan tari-tarian ini pada bulan Desember saat hari Natal, ataupun hari-hari tertentu pada acara adat. Tarian ini, sangat disenangi oleh para tamu yang berkunjung merayakan Natal di Karatung. Tarian Ware sudah dilakukan turun temurun, dan telah menjadi agenda rutin setiap tahun.

Saya pernah mendapat kesempatan menjadi panitia penyelenggara tarian Ware pada tahun 2010. Acara tarian ini dikoordinir langsung oleh Gereja Imanuel Karatung sebagai lembaga keagamaan yang ada di Karatung.

Filosofi yang terkadung di dalam tarian Ware yaitu, pertama, sebagai lambang persatuan dan kesatuan. Peserta tarian Ware yang membentuk barisan layaknya pasukan persatuan baris berbaris (PBB), diwajibkan menjaga kerapian dan kekompokan barisan. Kedua, seluruh peserta harus menari pada irama yang sudah ditentukan. Adapun irama yang dimainkan yaitu mars, tenggo, wals, dan rumba.

Penabuh tambor harus dapat memainkan irama tersebut dengan benar. Selain itu, tarian harus sesuai dengan musik yang dimainkan. Jika irama dan tarian tidak sesuai maka nilai kelompok tersebut akan dikurangi. Ketiga, tarian Ware sebagai lambang ungkapan sukacita kepada Tuhan, atas segala berkat-berkat-Nya yang diterima oleh masyarakat Karatung. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan setiap bulan Desember.

Mengungkap Makna Tarian Ware

Dalam perenungan yang sangat mendalam, Saya mencoba mengungkap makna yang tersembunyi di balik tarian Ware, yang mungkin oleh masyarakat pulau Ginimbale sendiri tidak disadarinya. Ada lima makna yang tersirat dari tarian Ware, yakni:

Pertama, tali persaudaraan. Masyarakat pulau Ginimbale diajak untuk senantiasa menjaga dan mempererat tali persaudaraannya. Awal mula lahirnya tarian Ware ini, dimulai ketika ada ide dari seorang bernama Mailana (salah satu leluhur dalam garis keturunan Ginimbale), yang ingin mempersatukan masyarakat yang tinggal di pulau Ginimbale.

Saat itu, beberapa keluarga (penduduk pulau Ginimbale), terpencar-pencar tempat tinggalnya. Lalu, suatu hari yang telah ditentukan sebagaimana pemberitahuan yang sudah disampaikan kepada masing-masing keluarga, berkumpullah mereka pada suatu tempat. Tempat itu, saat ini bernama Tiwu (tempat batu marengkelangi, atau di masa kecil Saya dinamakan batu lambae, karena setiap lewat di batu tersebut, selalu diminta untuk memberi salam atau hormat, lambae tete, lambae nene. Artinya, permisi kakek, permisi nenek).

Perkumpulan itu hanya untuk makan bersama, setelah itu menari bersama. Tarian itulah akhirnya disebut tarian Ware. Ware, dalam bahasa setempat (artinya, berbaris secara teratur). Tarian itu, telah menciptakan suatu ikatan yang kuat di antara mereka sebagai saudara, yang tidak bisa dipisahkan lagi. Benar saja, karena tarian tersebut yang dilakukan setiap malam, membuat mereka untuk mengambil suatu konsensus bersama, untuk menetap dalam sebuah komunitas (kampung Tiwu). Di situlah, sistem pemerintahan adat/kampung mulai dijalankan, dengan memilih ratu mbanua dan pentua-pentua adat, yang secara bersama-sama menjalankan pemerintahan adat.

Adapun sejarah tarian ware berdasakan penuturan para pentua adat (timade ruangan) Karatung, salah satunya bapak Wenselaus Tindi (2016), yaitu sebagai berikut: "Dahulu masyarakat pulau Karatung tempat tinggalnya terpencar. Ada yang di Tiwu, Lariasan, Uala, Ola, Sabangan, Tangane. Namun beberapa keluarga saat itu lebih terkonsentrasi di Tiwu yang menurut mereka tempat ideal untuk didiami. Maka Seorang yang bernama Mailana (yang pada akhirnya jadi pemimpin komunitas), berinisiatif untuk mengumpulkan orang-orang yang tersebar itu untuk tinggal dalam satu komunitas. Mailana dibantu oleh orang dekatnya (tambirin) menghubungi keluarga-keluarga tersebut untuk melakukan pertemuan (gathering) dan lokasinya ditentukan di Tiwu.

Hari H tiba dan semua orang datang di sana. Diadakanlah perkumpulan, yakni semacam piknik. Bukan hanya rapat kecil, tetapi ada tari-tarian dan menyanyi secara bersahut-sahutan. Sontak, suasana itu memberikan sensasi baru bagi orang-orang yang hadir. Bukan hanya satu malam, dua malam, tetapi pertemuan itu berlangsung selama kurang lebih tujuh hari. Akhirnya, orang-orang tersebut ogah-ogahan untuk kembali ke tempatnya dan memilih untuk hidup bersama. Tarian yang dilakukan merupakan embrio ware, karena mereka menyanyi dan menari dengan posisi berbaris rapi."

Dalam konteks kekinian, pemaknaan tarian ware harus dikembalikan pada motivasi awal, yakni mempererat tali persaudaraan sesama anak-anak kampung (ararana u wanua).

Kedua, ketertiban dan keamanan. Tarian Ware, menuntut suatu disiplin tinggi dalam hal ketertiban dan keamanan. Dahulu, waktu Saya masih duduk di Sekolah Dasar (tahun 1980-an), Tarian Ware benar-benar menjadi suatu kegiatan yang paling disukai dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat Ginimbale. Sehingga ada ungkapan “pariha be maalo wahewa”. Sebuah ungkapan yang mengandung harapan (kalau boleh cepat datang hari Raya Natal). Mengapa? Jawabannya, karena di hari Natal itulah, akan diselenggarakan tarian Ware.

Kebiasaan kaum laki-laki yang ada di wilayah Kecamatan Nanusa, secara khusus pulau Ginimbale (Karatung), hari Natal, merupakan momentum terindah untuk mabuk-mabukan. Semua laki-laki, memanfaatkan waktu ini sebagai kesempatan untuk memperlihatkan kejantanannya, yang dikenal dengan istilah “manggeremma” (minum dengan takaran sloki, atau gelas kecil). Sebenarnya, itu hanya sebuah istilah halus yang dipakai bapak-bapak (para suami), ketika memberikan alasan kepada istrinya, tatkala di interogasi. Karena istilah manggeremma ini, untuk menangkis pertanyaan para istri, pira mboto nasue (berapa botol dihabiskan)?

Dalam konteks Ware, setiap warga, baik laki-laki maupun perempuan, wajib mengikuti Ware. Mau tidak mau, laki-laki yang jalannya sudah sempoyongan tadi, harus menari bersama dalam barisan. Di situlah kunci penilaiannya, ketertiban dan keamanan. Ada istilah “pasete manggerema, tapi tala wotonge manginturi” (artinya, silahkan minum, saat itu air tuba pahit yang memabukkan, tapi tidak boleh berteriak atau melakukan hal-hal yang mengganggu ketertiban).

Memang sangat lucu, ketika menyaksikan ada orang-orang mabuk yang jalannya sempoyongan sedang menari dalam barisan. Supaya nilai tidak dikurangi nilainya oleh tim juri/penilai, maka sesama anggota kelompok saling mengingatkan “paranggi rumarisi” (berdiri yang bagus/lurus sesuai barisan).

Ketiga, keharmonisan hidup. Tarian Ware, membuat semua orang larut dalam kebersamaan, menikmati indahnya melodi-melodi yang dimainkan, sambil menari bersama-sama sesuai dengan irama yang dimainkan. Baik orang tua maupun anak-anak, semuanya larut dalam kegembiraan. Mereka sangat menikmati gerakan seiring sejalan, langkah rumba, tenggo, wals, dan mars, yang dimainkan oleh para penabuh tambor, dengan panduan pemain harmonika ulung.

Keharmonisan inilah yang dituntut dalam penilaian. Tabuhan tambor dan langkah serta tarian sesuai dengan irama musik. Paduan keharmonisan inilah yang sangat tinggi nilainya. Tentunya diharapkan, spirit yang dibangun dalam keharmonisan tarian Ware ini, berlanjut sampai ke hubungan di dalam rumah tangga, dan lingkungan sosial masyarakat Ginimbale.

Keempat, konsistensi. Tarian Ware menuntut konsistensi untuk terus menari dan menari. Selalu aman dan tertib hingga selesai pertandingan. Tambor terus ditabuh hingga petunjuk irama selanjutnya. Dan jumlah peserta tidak berkurang, mulai dari awal (start) hingga usai pertandingan. Jika tercatat lima puluh orang, maka tidak boleh kurang dari lima puluh orang hingga garis finis. Sebaliknya yang dikehendaki ada pertambahan peserta baru yang masuk, sebuah pengecualiaan yang diperbolehkan.

Kelima, ketaatan kepada Sang Ilahi. Tarian Ware, merupakan simbol pemujaan kepada Sang Ilahi. Dengan menari sekuat tenaga, “seperti Raja Daud menari ketika memindahkan Tabut Perjanjian ke Istana yang ia diami”, demikian komentar pendeta Betuel Tatura, salah satu putra Ginimbale, yang konsen pada pelestarian nilai-nilai budaya tarian Ware.

Masyarakat Ginimbale, akan dibawa kepada suatu suasana, “bahwa menari ini, menari dalam irama tabuhan tambor ware ini, sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan, atas segala berkat-berkat-Nya yang telah Ia curahkan dalam kehidupan kita, disepanjang tahun yang telah dijalani. Sehingga, di hari Natal ini, masyarakat yang adalah warga Gereja, mengembalikan segala ucapan syukur kepada Tuhan yang empunya langit dan bumi.” Demikian penegasan, pendeta Betuel Tatura, dalam suatu khotbah Natal, di Gereja Imanuel Karatung.

Saat ini, masyarakat Ginimbale (pulau Karatung), telah terbagi dalam tiga wilayah administrasi pemerintahan desa. Desa Karatung (induk), desa Karatung Tengah, dan desa Karatung Selatan. Tentunya, seiring dengan perkembangan zaman dan berbagai gesekan kepentingan desa, tarian Ware ini, merupakan alat ampuh dalam mempersatukan ararana u wanua Ginimbale (anak-anak kampung Ginimbale).

Secara administrasi pemerintahan, desa ini telah dibagi. Namun, secara kelembagaan adat, masih berada di bawah satu pemerintahan adat. Pulau Karatung memiliki satu Ratumbanua (raja), dan inangu wanua (mangkubumi). Selain itu ada dua belas pentua adat (timade ruangan) yang mengepalai dua belas suku, yang sudah Saya sebutkan di atas. Sedangkan peran para Kepala Desa (Karatung, Karatung Tengah, dan Karatung Selatan), mereka ditunjuk sebagai koordinator adat di desa masing-masing.

Lain halnya dengan pulau Marampit dan Kakorotan (5 desa yang lain) di wilayah Kecamatan Nanusa, masing-masing desa memiliki Ratumbanua (raja) dan inangu wanua (mangkubumi) sendiri. Hanya di pulau Karatung yang tetap mempertahankan satu pemerintahan adat (adat Ginimbale).

Sebagai generasi Ginimbale, Saya memandang tarian Ware ini sebagai kekayaan budaya bangsa yang harus dilestarikan keberadaannya. Mengapa demikian? Dalam konteks isu masyarakat daerah perbatasan, spirit Tarian Ware ini bisa menjadi modal sosial yang sangat tinggi bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan keutuhannya sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Dengan adanya nilai-nilai dalam tarian ware ini, dapat dijadikan sebuah modal pemerintah saat ini, Joko Widodo (Jokowi) atau pemerintahan selanjutnya, untuk menyukseskan pembangunan dari pinggiran. (Tindi, 2017).

Tarian Ware merupakan kekayaan masyarakat Talaud di bidang pariwisata yang layak kelola dengan baik dan dipromosikan untuk peningkatan pariwisata daerah. Pemerintah daerah dituntut bekerja secara optimal agar kekayaan budaya lokal tidak hanya dibiarkan begitu saja.

Oh ya sahabat Nusantara, jika anda ingin berkunjung ke Karatung untuk menyaksikan tarian Ware, maka saya menyarankan untuk pergi bulan Desember dan biasanya acaranya dilakukan mulai tanggal 25 Desember sampai 1 Januari. Ada lima hari prime time (25-30 Desember) merupakan waktu terbaik bagi Sahabat Nusantara untuk menyaksikan tarian tersebut. Mengenai perjalanan ke Karatung, sudah saya jelaskan pada tulisan Menengok Pulau Indah di Bibir Pasifik, Pulau Karatung.

Comments


RECENT POSTS:

Space for Rent ...

Berikan komentar anda mengenai artikel di atas!

© Wanuau

  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page