Teori Tongkat Monyet
- Abnertindi
- Nov 22, 2017
- 4 min read
Hidup selalu diwarnai dengan kejadian menarik. Lihat, dan pahamilah setiap momentum yang sedang terjadi, karena barangkali di balik hal tersebut ada makna positif yang membuat hidup kita seindah kembang di taman.

Foto: Atraksi lucu seekor monyet saat mengambil uang. Monyet tersebut berjalan dengan menggunakan tongkat.
Suatu hari, Saya menuju ke kampus UGM mengenderai sepeda motor. Di perempatan jalan yang bernama jalan Magelang, Saya bertemu dengan seekor monyet. Monyet itu digunakan oleh pawangnya untuk mencari uang. Monyet tersebut melakukan atraksi berjalan di atas tongkat. Bertepatan lampu lalulintas (traffic light) berwarna merah, semua kendaraan berhenti termasuk motor yang Saya tumpangi.
Karena penasaran dan rasa lucu melihat tingkah monyet itu, Saya memutuskan memanggil monyet tersebut sambil memperlihatkan uang seribu yang Saya ambil dari dalam saku celana. Monyet, monyet, teriaku. Sambil tersenyum, Saya memperlihatkan uang kepada monyet. Rupanya monyet juga tahu duit (uang).
Monyet tersebut menghampiri Saya, lalu meraih uang yang ada di tangan Saya. Melihat tingkah lucu monyet, baik Saya maupun orang-orang di sekitarnya yang sedang menyaksikan peristiwa itu tertawa terbahak-bahak.
Mencari arti dibalik tongkat monyet
Dalam perjalanan ke kampus, Saya berpikir dan berkata, luar biasa monyet itu. Saya terus mencari arti dibalik tingkah monyet yang sangat lucu itu. Monyet tersebut mampu berjalan dengan menggunakan kedua tongkat. Bahkan saat mengambil uang dari tangan Saya, monyet tersebut memegang tongkatnya, seolah-olah berkata tongkat ini sangat penting bagiku.
Peristiwa monyet dan tongkatnya itu, membuat Saya melakukan perenungan secara mendalam. Akhirnya, Saya berkata, peristiwa ini cocok ditarik menjadi sebuah pelajaran. Pelajaran itu Saya namakan “Teori Tongkat Monyet (TTM)”.
Adapun teori TTM itu berkata demikian: Jangan beri aku tongkat, karena aku tidak tahu menggunakannya. Tetapi berilah aku ilmu, supaya aku dapat menggunakan tongkat untuk mencari uang. Teori ini Saya ciptakan untuk mencoba mengeksplorasi apa yang sedang terjadi dengan monyet yang Saya lihat tadi di jalan.
Saya berpikir, karena ilmulah monyet tersebut dapat berjalan dengan tongkatnya, sehingga hal itu menarik orang-orang untuk menyaksikannya dan imbalannya ialah, monyet berhak mendapatkan penghargaan berupa uang.
Saya bergumam dalam hati, inilah artinya. Lalu Saya kaitkan dengan realitas sosial di sekelilingnya. Monyet saja bisa cari duit, harusnya manusia lebih bisa dari monyet. Dengan menggunakan ilmunya, monyet dapat menggunakan tongkat untuk berjalan. Monyet dapat mengumpulkan uang untuk kebutuhan hidup pawangnya dan kelangsungan hidup monyet sendiri.
Memang dalam posisi ini, monyet tersebut sebagai alat bagi sang pawang untuk mencari uang. Tetapi Saya melihat dari sisi monyetnya, di mana monyet tersebut berjuang keras belajar berjalan dengan menggunakan kedua tongkatnya, sehingga ia layak menjadi penghibur dan mendapatkan uang.
Banyak hal yang dapat ditimba dari apa yang Saya sampaikan ini. Saya tidak berkata silahkan menjual diri dan menjadi penghibur untuk mendapatkan duit. Sekali lagi Tidak. Bukan itu. Saya hanya berkata, monyet saja yang tidak ada akal budinya, karena padanya hanya ada insting kebinatangan, mampu mencari duit (memenuhi kebutuhannya).
Seharusnya, kita manusia yang adalah mahluk ciptaan Tuhan termulia, sejatinya mampu menggunakan akal kita untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gunakanlah ilmu yang kita miliki untuk berdiri di kaki sendiri.
Jangan beri aku tongkat karena aku tidak tahu menggunakannya.
Menunjuk kepada kondisi hidup yang kita alami. Memang tanpa bekal pengetahuan hidup ini terasa berat, jemu, dan membosankan. Jika kita mencoba menyelami pikiran seekor monyet tadi, untuk apa tongkat ini? Aku tidak tahu menggunakannya. Akhirnya tongkat itu dipakai oleh monyet untuk menggebuki (memukul) orang atau bahkan tuannya sendiri.
Memang, semudah-mudahnya suatu pekerjaan tanpa didasari dengan ilmu, pekerjaan tersebut akan sangat sulit dikerjakan, dan dipastikan selesai tetapi dengan jalan penyelesaian yang salah.
Tetapi berilah aku ilmu supaya aku dapat menggunakan tongkat untuk mencari uang. Menunjuk kepada kepemilikan ilmu. Jika anda pintar, maka kepintaranmu itu untuk dirimu sendiri. Itulah kekayaan yang tidak bisa dirampas oleh siapapun. Ilmu sangat mahal. Karena sifatnya mahal, maka kita mencarinya dengan bersusah payah. Dan di sekolah atau di kampuslah ilmu itu didapatkan. Sehingga jangan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk belajar menimba ilmu.
Ilmu berbicara tentang kekayaan. Dengan ilmu kita mampu menciptakan sesuatu untuk mendapatkan uang. Orang-orang kaya di muka bumi ini, menggunakan ilmu yang ia miliki untuk menciptakan kekayaannya, terlepas bagaimana caranya ia memperoleh kekayaan itu.
Itulah yang mendorong para orang tua menyekolahkan anak-anaknya, karena ada bahasa yang mengatakan, tidak ada ladang yang diberikan untuk hari depan anak, selain membiayai anak untuk sekolah sehingga mendapatkan ilmu, agar dikemudian hari bisa menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri.
Ilmu berbicara tentang martabat. Dengan gelar yang dimliki oleh seseorang, maka hal itu akan merepresentasikan seberapa besar martabat orang tersebut. Demi gelar keilmuan yang akan menaikan martabatnya, orang tersebut rela meninggalkan kampung halamannya atau keluar dari zona nyaman untuk menuntut ilmu di negeri orang.
Ada juga cara-cara yang kurang terpuji dilakukan oleh individu tertentu, yaitu dengan membeli gelar keilmuan. Sehingga jangan heran, kalau ada individu yang tiba-tiba di belakang namanya sudah berderet gelar kesarjanaan mulai dari S1, S2, bahkan sampai S3, tetapi tidak ada ilmu yang dimilikinya sesuai dengan gelar tersebut.
Ilmu berbicara tentang wibawah. Seseorang akan terlihat berwibawah ketika apa yang dikatakannya berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Seorang pakar komunikasi misalnya, akan terlihat berwibawah ketika ia berbicara tentang ilmu komunikasi yang dimilikinya.
Namun menjadi tidak berwibawah ketika ia berbicara ilmu tentang penyakit menular, karena wilayah yang sedang dibicarakannya adalah wilayah keilmuan seorang dokter atau pakar kesehatan. Ilmu membuat individu menjadi istimewa dan spesialis.
Berbicaralah dengan ilmu yang kita miliki, sehingga di mata orang lain kita menjadi sangat berwibawa.
Ilmu berbicara tentang kerendahan hati. Individu yang berilmu, dipastikan seorang yang rendah hati. Pepatah mengatakan padi semakin berisi semakin merunduk. Demikian juga orang berilmu, semakin berisi semakin rendah hati. Biasanya tong kosong berbunyi nyaring. Artinya orang yang tidak berilmu berlagak banyak tahu berbagai hal.
Padahal, dalam diri orang tersebut tidak ada satupun yang diketahuinya. Itulah kesombongan. Orang sombong biasanya memamerkan dirinya, padahal dirinya tidak berkualitas sama sekali.
Ilmu berbicara tentang penguasaan diri. Orang berilmu akan mampu menguasai dirinya dalam segala hal. Padanya ada pertimbangan untung dan rugi ketika melakukan sesuatu. Setiap langkah hidupnya, pasti hanya ada hitungan satu, dua, tiga, setelah ini ke mana lagi.
Penguasaan diri bagi orang berilmu adalah sebuah kewajiban. Dengan demikian, ilmu yang telah dipelajari dan dimiliki itu akan dapat diamalkan sebaik-baiknya untuk kebutuhan diri sendiri dan orang lain.
Adanya penguasaan diri, maka potensi konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan lainnya dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Ilmu ibarat kemudi dalam diri kita. Bagaikan kapal yang berlayar di tengah lautan luas, tetap berjalan lurus pada jalur yang telah ditentukan.
Ilmu menguasai seluruh hidup kita, untuk terus melakukan kebaikan-kebaikan yang mendatangkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Orang yang berilmu akan dapat menguasai orang lain dan lingkungan sekitarnya. Penguasaan atas ilmu, melapangkan seseorang dalam menemukan solusi terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi.
Comments